Masih teringat jelas di kepala saya saat membuat resolusi di tahun 2019 yang ditulis pada akhir 2018. Saat itu saya berumur 17 tahun, dan menulis kalimat ‘Belajar jadi Barista’ pada jurnal harian. Dalam lingkungan saya saat itu, perempuan yang memiliki profesi sebagai juru seduh kopi atau barista masih belum banyak ditemukan. Kemudian saya berhasil lolos dalam seleksi pelatihan berbasis kompetensi barista, didanai salah satu institusi pemerintah selama 20 hari pada Agustus – September 2019. Keinginan saya pun terwujud, dengan kesibukan kuliah dan berbagai kegiatan non akademik, mengharuskan saya untuk bisa mengatur waktu.
Kegiatan pelatihan bisa dikatakan sangat menarik, terlebih pada saya yang awalnya masih buta dengan karakteristik biji kopi— berkali-kali melihat dan bergumam, “apa sih perbedaan arabika dan robusta ini?” sambil membuka buku catatan tentang karakteristik biji kopi tersebut.
Banyak praktik yang dilakukan selama pelatihan: memahami pengetahuan dasar biji kopi, tingkatan roasting, tekstur biji kopi dari kasar hingga sangat halus, sensor rasa biji kopi dari berbagai daerah di Indonesia, menjawab pertanyaan bagaimana alat-alat seduh manual digunakan, mencoba mesin espresso yang harganya sangat fantastis, dan masih banyak keseruan lainnya. Setelah masa pelatihan, saya pun tertarik mencoba menerapkan ilmu-ilmu yang sudah diajarkan di sana. Kebetulan saat itu saya menemukan lowongan pekerjaan barista yang sangat dekat yakni berjarak sekitar delapan menit dari rumah.
Jika dalam hidup, kita akan menemukan pilihan untuk idealis atau realistis, saat itu dengan tegas— saya bertekad menjadi barista perempuan yang idealis, dan menganggap bahwa profesi ini bukan hanya sekadar menyeduh kopi atau menekan mesin untuk melakukan kalibrasi dengan beberapa kali meneguk espresso, tapi jauh lebih dari itu.
***
“Semuanya harus dirapihkan. Jangan sampai ada yang hilang. Kalau hilang, 10x gaji kalian juga gak akan sanggup bayar.” ucap seorang Ibu pemilik kedai kopi di hadapan saya.
Saya kaget dan memasang ekspresi bingung dengan kalimat tersebut, dalam hati “apakah pekerjaan pertama yang mengusung tema idealis dalam perkopian ini akan menjadi hal yang menyedihkan?”. Saat itu, saya langsung diterima bekerja tanpa kegiatan interview, bertepatan dalam rangka lowongan pekerjaan tersebut yang membutuhkan karyawan secepatnya karena segera melakukan peresmian.
Dulu saya berpikir akan melayani pelanggan yang juga menjadi teman cerita, seperti banyak artikel yang saya lihat sebelumnya tentang betapa asik menjalani profesi tersebut. Pada pekerjaan untuk pertama kalinya, saya perlahan menyadari beratnya menjadi seorang ‘barista’. Alih-alih menolak, saya tentu terikat euforia anak remaja pada umumnya yang tertantang menjalani tekanan dari suasana baru yang saya temui. Hari peresmian tiba dengan promo menggila, membuat saya berdiri dalam waktu yang cukup lama. Hanya ada satu barista senior yang sudah hapal resep minuman, sementara pesanan membludak, saya yang waktu itu belum diberi catatan resep, hanya berbekal resep kopi dari pelatihan sebelumnya. Banyak pesanan non coffee membuat pelanggan mengantre— tentu saja untuk pertama kalinya, saya kewalahan.
Saya menjadi barista di tiga tempat berbeda dalam kurun waktu 5 bulan selama tahun 2019 – 2020. Kedai A, memiliki owner dan manajer yang kurang baik, terlebih pada pelaksanaan dari kedai kopi tersebut yang belum mampu merencakanan pelayanan dengan baik. Dibandingkan lelah fisik, justru mental saya merasa down saat bekerja karena lingkungan di sana. Kedai B, masih berada di dekat rumah saya dengan jarak tempuh sekitar 10 menit, saya mendapat bimbingan yang cukup baik lantaran ada beberapa hal yang tidak diajarkan pada pelatihan sebelumnya, namun pembelajaran dilakukan saat sudah selesai merapihkan bar sehingga seringkali saya pulang pukul 2 pagi. Kedai C, saya menempuh jarak lebih jauh yakni sekitar 15 menit, saya menemukan banyak pelanggan tidak hanya didominasi oleh remaja dan dewasa, akan tetapi ada pengalaman yang kurang mengenakan.
Loyalitas yang Tidak Pantas
Siang hari sepulang kuliah, saya langsung bergegas untuk menuju kedai kopi A. Bekerja secara paruh waktu dan berdiri selama lebih dari 3 jam menerima pesanan. Tidak hanya bagaimana mengatur waktu, ramainya pesanan biasanya membludak saat weekend. Saya menemukan kenyataan bahwa kerja dilakukan selama 8 jam dan tidak termasuk pekerjaan ganda seperti membantu memasak, mengantarkan pesanan, dan membersihkan bar (closingan). Jika dihitung, saya bekerja lebih dari semestinya, tanpa dihitung lembur oleh pemilik. Hal ini diperkuat dengan beberapa teman saya yang merupakan sesama barista perempuan— Tias, Dira, dan Naya.
Tias merupakan barista perempuan yang sudah 2 tahun melayani pelanggan di kedai kopi ternama dan memiliki banyak cabang, ia mengatakan jika 1-2 jam waktu melebihi jam kerja, maka ia sebut sebagai loyalitas.
“Kalo sejam dianggap loyalitas, kalo dua jam ya sejamnya bisa diitung lembur. Cuma karena duitnya gak seberapa, dan banyak supervisor yang gak menghargai itu. Jadi mereka gak mau memproses, karena (sebenarnya) emang ada prosesnya kan, sebenernya kalo supervisornya mau ribet karena tenaga anaknya (karyawan) berharga, bisa dicairin (dihitung lembur).”
Sementara, Dira merupakan barista yang sudah 5 tahun lebih berkecimpung di dunia perkopian. Ia tidak merasakan hal yang sama, secara tegas, Dira akan menanyakan lebih jelas soal jam kerja, sehingga pada saat close order, pemilik setuju tidak ada pelayanan meskipun ada pelanggan yang baru saja datang.
Lain halnya dengan Naya, ia bekerja secara penuh waktu selama 10 jam. Merasa tak masalah dengan hal tersebut, lingkungan tempatnya bekerja justru memberikan pengalaman dan motivasi.
Perjalanan pada dunia perkopian ini mengingatkan saya pada kedai A yang jadi tempat pertama saya bekerja selama sebulan. Aktivitas perkuliahan yang sudah selesai, membuat saya bergegas untuk segera bekerja. Sesampainya saya di sana, satu teman barista menghampiri dan mengatakan kalau saya sudah tidak perlu bekerja di tempat tersebut, pihak manajer juga tidak memberikan penjelasan apapun. Hari itu saya merasa gagal dengan pengalaman pertama saya bekerja, entah disebabkan karena apa. Evaluasi yang dilakukan selama ini dilihat sebagai progres yang baik, dan saya merasa senang dapat berkontribusi bahkan saat peresmian kedai kopi tersebut, saya wara-wiri membantu membeli perlengkapan— sendirian. Meski tak ada uang pengganti transport saat itu, juga pemilik meminta tetap melayani pelanggan saat sudah close order, lagi-lagi tanpa uang lembur, saya pulang pukul 12 malam.
Upah Tak Seberapa, Tugas Bisa Sebanyak-banyaknya.
Hal lain menjadi seorang barista yang baru saja diketahui waktu itu adalah tentang banyaknya tugas yang tidak cuma sekadar membuat minuman. Pada kedai kopi C, tempat ketiga saya bertahan menjadi seorang barista, saya terpaksa mengiyakan tugas selain menyeduh yaitu memasak. Awalnya, saya menganggap ini merupakan sebuah tantangan dan pengalaman baru untuk saya. Pada akhirnya ada satu kejadian yakni pihak kedai membuat acara nonton bareng (nobar) pertandingan sepak bola, saya sering wara-wiri mengambil frozen food yang terletak di ruang depan, bersamaan dengan bar. Dapur terletak di belakang dan tempat nobar tersebut terletak di ruang tengah— saya harus melewati kerumunan laki-laki yang sangat gaduh. Tidak hanya itu, berulang kali saya memanggil nama pelanggan, namun karena teriakan supporter sepak bola tersebut, untuk kedua kalinya saya benar-benar kewalahan.
Apakah penderitaan saya berakhir saat itu? Tentu tidak. Hari berlanjut hingga tengah malam. Saya belum membersihkan banyak gelas, juga dapur. Kemudian menyapu, mengepel, dan merapihkan semua kursi. Bak ditampar dengan keras— mendapat kenyataan pahit saat banyak teman laki-laki manajer saya melanjutkan untuk ‘minum’. Jika saya pulang lebih awal, tentu saya merasa bersalah pada sesama rekan kerja. Hingga akhirnya subuh tiba, saya baru bergegas pulang ke rumah. Wajah saya pucat serta menyadari pentingnya hidup sehat. Pola makan saya berubah dari waktu makan malam yang seharusnya.
Begitu pula pada kedai kopi A, saya terpaksa harus hati-hati membawa minuman ke lantai dua. Lagi-lagi barista bukan tentang membuat minuman, tapi saya juga mengantarnya, dan menjadi kasir pada saat yang bersamaan. Hal sama juga dirasakan oleh Tias, ia bercerita bahwa dalam kedai kopi ternama sekalipun, ia selalu mendapat tugas lain di bagian keuangan. Kedai kopi yang memiliki banyak cabang yang tersebar di berbagai kota ini memiliki sistem perpindahan karyawan ke cabang lain. Hal tersebut dilakukan untuk mengelola cabang yang baru dibuka agar kondusif karena memiliki barista yang dianggap senior.
“Pernah aku closingan nih, terus gak sempet kan, karena kalo di sana (cabang baru) aku closing tuh diburu-buruin gitu, lho. Kayak ‘ayo cepet-cepet laporan’, yang namanya laporan kan pasti banyak dong. Jobdesknya sebenernya tuh mobile, tapi kalo untuk cewek lebih ke kasir, dan kalo kasir di coffee shop ini banyak yang mesti dilaporin. Jadi kayak ‘kamu kerjain yang kasir dulu nih, kalo udah, baru kerjain yang lain’. Intinya semua dikerjain. Bagian kasir itu after closing, jadi karena mereka (rekan kerja) ngeburu-buruin, hampir tiap malem ya ngerjain sendirian.” kata Tias.
Kendati demikian, banyaknya tugas yang diberikan kepada barista menghadirkan suatu pertanyaan: apakah upah dalam bekerja sebanding dengan beban yang ada? Berdasarkan pengalaman saya, upah dari ketiga kedai kopi tempat saya bekerja dengan status paruh waktu, hanya memberikan pendapatan harian dengan seharga dua gelas kopi, jika tempat kopi di rumahmu seharga Rp 25.000, maka saya hanya menerima dua kali lipat nilai tersebut selama sehari, yakni Rp 50.000. Jika uang tersebut dibagi selama 8-10 jam, maka hanya mendapatkan Rp 5000 – Rp 6.250 selama satu jam saya bekerja.
Mendengar cerita dari ketiga teman saya; Tias, Dira, dan Naya. Bisa disimpulkan bahwa kedai kopi yang tidak memiliki cabang akan memberi upah pada karyawannya sekitar nilai yang disebutkan di atas, bisa lebih baik, atau bahkan kurang dari itu. Jika kedai kopi yang memiliki banyak cabang, maka upah yang diberikan adalah UMR (Upah Mininum Regional), dan diberikan bonus jika target tercapai.
Menjumpai Lingkungan Kerja Barista Perempuan
Suatu sore di kedai C, saya datang tepat waktu dan langsung mencoba membuat kopi untuk diminum sendiri. Beberapa kedai kopi memberikan jatah minuman kepada barista untuk mengeskplorasi hasil seduhannya. Saat sedang menyeduh, ada bunyi nada dering dari ponsel rekan saya selaku barista senior juga sebagai orang kepercayaan pemilik kedai, kemudian ia mengangkat panggilan itu dan menyapa.
“Sini main. Ada barista cewek nih.” kata barista senior. Saya mengernyitkan dahi, takut kalau seandainya ada hal yang tidak saya sukai, justru saya temui. Ia berenti berbicara dan mendengar temannya. Ponsel tersebut sedang dalam mode speaker, sehingga saya dapat dengan jelas mendengarnya.
“Cakep gak ceweknya?” ucap temannya.
“Ya… Cakep kok. Sini buruan.” Ia tertawa, melanjutkan percakapan.
Mendadak saya melihatnya dan menatapnya tanpa ekspresi, kala itu saya malas mempeributkan keberadaan di kedai kopi tersebut. Pikiran saya kacau, “apa sebenarnya yang ada pada diri laki-laki ini?”. Sejak itu, saya dipenuhi pertanyaan bahwa mungkinkah keberadaan saya tidak dilihat sebagai perempuan yang memiliki keterampilan meracik kopi dengan baik? Saya merasa bahwa hari itu adalah keengganan saya untuk benar-benar menikmati profesi menjadi barista, bukan karena saya membenci kopi, justru saat itu rasanya seperti mengutuk diri terjerembap pada lingkungan yang saya benci.
Pada cerita lain yang diungkapkan oleh Tias, saat bekerja pada cabang baru yang menurutnya seperti kutukan, ia juga menemui lingkungan yang sangat beracun: memiliki rekan kerja yang tidak suportif dan supervisor yang juga seringkali menyudutkan, membuat Tias merasa menjadi sosok yang lain dari biasanya, tak seperti pengalamana di beberapa cabang sebelumnya.
“Ya, sering (dicatcalling), Kak. Bener-bener yang kayak mau nangis, tiap hari dia (rekan kerja laki-laki), bawa-bawa badan (fisik). Misal lagi nyapu, nunduk nih, dia bilang ‘ih badannya enak banget’. Terus yang lain ketika aku digituin, mereka pada ketawa, yang cewek pun juga ketawa karena menganggap itu sebuah lelucon, candaan gitu.” ungkap Tias.
Hal tersebut tidak terjadi pada Dira, namun kehadiran Dira di kedai kopi tempat ia bekerja sering mendapat perlakuan istimewa dari pemilik. Dira selalu resign saat mendapatkan pemilik kedai yang tidak hanya memperlakukannya sebagai karyawan seperti yang lain.
“Rata-rata aku cabut (resign) ya karena masalah itu, hampir setiap aku kerja. Kadang kalo lagi malem Minggu, dia (owner) bilang ‘mau digojekin martabak gak?’, tapi nawarinnya ke aku doang, tapi ya kan gak mungkin makan sendirian. Jadi anak-anak (rekan kerja) bilang ‘udah, mau aja’. Jadi akhirnya mau tapi itu buat anak-anak (rekan kerja). Setelah jam kerja, dia (owner) ngajakin ngopi di tempat lain tapi alesannya kerjaan.” ucap Dira.
Sedangkan Naya yang awalnya menjadi pelayan di kedai kopi tempat ia bekerja, kemudian dengan senang hati lingkungannya memberi pelatihan kepada Naya untuk menjadi barista. Ia mengungkapkan bahwa lingkungan tempatnya bekerja sudah seperti keluarganya sendiri.
“Kalo di lingkungan kerja sih, enak ya. Kami nganggepnya tuh bener-bener kayak adek-kakak kandung sendiri. Jadi kayak apa-apa enak gitu, jadi tempat cerita, pokoknya kayak adek-kakak sendiri, jadi nyaman.”
Sudahi Sedih dengan Seduh
Cerita dari ketiga teman saya memiliki satu kesamaan tentang alasan mengapa mereka bekerja menjadi barista, hal ini tidak dilihat sebagai kegemarannya meracik kopi, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Adanya lowongan pekerjaan barista membuat peluang untuk mendapatkan uang. Dira dan Naya merupakan mahasiswa perempuan di kampus yang berbeda, mereka mengaku sulitnya membagi waktu antara tugas kuliah dengan pekerjaan. Sedangkan Tias berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun belum menemukan perguruan tinggi swasta dengan jurusan serta waktu yang sesuai.
Selain alasan tersebut, ketiga teman saya juga mengungkapkan bahwa jam kerja yang mengubah pola hidup mereka, membuat mereka lelah fisik. Tias dan Dira sudah memiliki riwayat sakit lambung karena banyak mengonsumsi kopi, sementara Naya menceritakan riwayat sakit karena waktu pekerjaan dan perkuliahan membuatnya sulit berkonsentrasi.
“Kan karena aku full-time juga, kan. Terus pikiran kepecah gitu, jadi kayak harus mikir buat pekerjaan barista dan pelajaran kuliah gitu, lho, Mungkin capeknya di capek otak kali, ya.” ujar Naya.
Mendengar cerita untuk memperkuat pandangan saya terkait dengan menjadi barista idealis, hal itu pada akhirnya juga saya patahkan dengan tegas— tidak pernah benar-benar ada ‘sudahi sedih dengan seduh’. Saat saya melihat jauh ke belakang, saya tidak menyesali pekerjaan tersebut. Dengan kopi, saya masih bisa berbagi dan mendengarkan cerita teman-teman. Dengan kopi, saya masih mencintai, mencoba biji kopi yang berbeda di setiap kedai, juga hapal rumus V60 yang saya buat hingga kini. Meskipun latte art buatan saya masih saja ambyar, ada ke-ambyar-an lain yang turut serta di dalamnya: barista perempuan yang hanya dipandang sebelah mata.
*Nama Tias, Dira, dan Naya bukanlah nama yang sebenarnya demi menjaga privasi dari narasumber.
Penulis : Hanum Kiki Rumandafi
Editor : Muhammad Bayu Tirta Firdaus
Tulisan ini merupakan bagian dari Kelas Mahasiswa yang didukung oleh Citradaya Nita 2021 bekerja sama dengan Project Multatuli dan AJI Jakarta.