Aneka jurus silat tanpa nama ia peragakan dengan gesit. Namun, bukan di arena sabung, Diryan (55) mempraktikkannya di tengah-tengah kekacauan perlintasan sebidang JPL 81 atau rel kereta api Proyek, Bekasi Timur, dekat Monumen Perjuangan.
Berbeda dengan penjaga perlintasan sebidang pada umumnya, pria yang akrab disapa “Kopral” itu menggunakan gerakan silat ketimbang hanya melambai dan mengayun-ayunkan tangan buat mengatur semrawutnya kendaraan.
Sontak, aksi teatrikal itu merebut perhatian pengendara dan penumpang angkot yang melintas.
“Nama senggolan saya “Kopral”. Karena dulunya potongannya saya cepak terus. Jadi seterek (gagah),” kata Kopral saat ditemui Kompas.com di tempatnya bertugas saban hari, Selasa (23/7/2019).
Kini, cukuran cepak Kopral tertutupi oleh topi koboi hitam yang setia bercokol di kepalanya.
Topi tersebut jadi saksi bisu Kopral mengabdi menjaga perlintasan sebidang tersebut. Dari tujuh orang yang membantu pegawai PT KAI menjaga perlintasan sebidang itu, Kopral yang paling kawakan.
“Paling lama saya. Absen saya dua kali. Jam 04.00 turun, jam 08.00 pulang. Wara-wiri saja, rumah kan deket sini. Siang ke sini lagi jam 13.00 sampai (waktu) asar, sebentar lagi,” kata Kopral.
Pria asal Indramayu, Jawa Barat tersebut mengaku sudah lebih dari 20 tahun merantau ke Bekasi. Awalnya, ia coba melakoni pekerjaan sebagai pengayuh becak di Kota Patriot.
Beberapa tahun berselang, ia mulai “menekuni” pekerjaan sebagai penjaga perlintasan sebidang rel kereta api proyek.
Kopral mengaku, aneka gaya silat tak pernah berhenti ia peragakan sejak hari pertamanya “bertugas” di perlintasan ini.
“Banyak yang kenal, katanya lucu jadi tukang parkir. Ya sudah lama begini, dari awal. Sudah 20 tahun, itu tahun berapa? Palang masih begini,” ujar Kopral mengangkat satu tangannya ke udara seolah sambil memegang tongkat semboyan.
“Belum ada portal. Masih tanah, belum aspal. Sudah lama banget,” kenangnya dengan suara melengking, coba menyaingi sirene perlintasan dan bising kereta api yang melintas.
Gigi Kopral yang mulai jarang itu tampak jelas ketika ia tertawa menyeringai selepas Kompas.com menanyakan perihal perguruan silat yang pernah dia jajal saat muda.
“Mana belajar silat, orang enggak silat enggak apa, silat sendiri-sendiri saja,” kata Kopral sambil mengisap rokok filternya di sebuah warung. Jam kerjanya sudah habis ketika azan asar bertalu-talu dari kejauhan.
Kopral punya tiga orang anak. Seluruhnya sudah bekerja. Sementara itu, sang istri telah menceraikannya karena Kopral tak pulang-pulang ke rumah.
Setelah ditinggal istri, Kopral tinggal seorang diri di sebuah rumah semipermanen di bantaran rel kereta api. Menggunakan sepeda motor hitam butut yang ia dapatkan seharga Rp 400.000, ia menekuni pekerjaan sebagai penjaga perlintasan sebidang tiap hari.
Namun, saat dilanda sakit, Kopral pilih istirahat di rumahnya. Ia merasa tak mampu bekerja optimal.
“Kalau sakit ya enggak bisa silat!” kata dia dengan logat Betawi yang lumayan kentara.
Memang, begitu penting arti gerakan silat bagi Kopral. Ketekunannya beraksi semacam ini membuatnya dikenal luas, termasuk oleh sopir-sopir angkot hingga polisi.
Berbekal popularitas jenis itu, ia pun percaya diri saja melanglang ke mana-mana, meskipun tanpa membawa sangu di saku atau tak membawa surat-surat kelengkapan motornya.
“Motor enggak ada suratnya. Polisi enggak berani sama saya, dia sudah tau sama saya, kalau di daerah Bekasi. Percuma (polisi) bawa (motor) ke polres juga, paling (polisi) ketawa doang,” kata Kopral.
“Jarang bayar juga saya mah naik angkot. Pada enggak mau dibayar sama saya,” imbuhnya.
Tak ingin berlama-lama, Kopral pun pamit. Ia menuju sepeda motornya yang terparkir tepat di tepi portal perlintasan rel. Setelah menyelahnya berulang kali, ia pun beringsut menuju rumahnya di bantaran kali dengan motor yang tak henti memuntahkan asap hitam dari knalpotnya.
“Banyak yang kenal, katanya lucu jadi tukang parkir. Ya sudah lama begini, dari awal. Sudah 20 tahun, itu tahun berapa? Palang masih begini,” ujar Kopral mengangkat satu tangannya ke udara seolah sambil memegang tongkat semboyan.
“Belum ada portal. Masih tanah, belum aspal. Sudah lama banget,” kenangnya dengan suara melengking, coba menyaingi sirene perlintasan dan bising kereta api yang melintas.
Gigi Kopral yang mulai jarang itu tampak jelas ketika ia tertawa menyeringai selepas Kompas.com menanyakan perihal perguruan silat yang pernah dia jajal saat muda.
“Mana belajar silat, orang enggak silat enggak apa, silat sendiri-sendiri saja,” kata Kopral sambil mengisap rokok filternya di sebuah warung. Jam kerjanya sudah habis ketika azan asar bertalu-talu dari kejauhan.
Kopral punya tiga orang anak. Seluruhnya sudah bekerja. Sementara itu, sang istri telah menceraikannya karena Kopral tak pulang-pulang ke rumah.
Setelah ditinggal istri, Kopral tinggal seorang diri di sebuah rumah semipermanen di bantaran rel kereta api. Menggunakan sepeda motor hitam butut yang ia dapatkan seharga Rp 400.000, ia menekuni pekerjaan sebagai penjaga perlintasan sebidang tiap hari.
Namun, saat dilanda sakit, Kopral pilih istirahat di rumahnya. Ia merasa tak mampu bekerja optimal.
“Kalau sakit ya enggak bisa silat!” kata dia dengan logat Betawi yang lumayan kentara.
Sumber : megapolitan.kompas.com