Tan Malaka menurut versi Majalah Tempo merupakan salah satu bapak pendiri bangsa (The Founding Fathers) selain Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Dari keempat pendiri bangsa itu, Tan Malaka di nilai sosok paling misterius selama hidupnya, tercatat ia menggunakan dua puluh tiga nama samaran untuk menghindari kejaran polisi rahasia negara-negara imperialis barat. Perjalanan pelarian politiknya itu mencapai delapan puluh sembilan ribu kilometer setara dua kali keliling bumi, mencakup dua benua dengan sebelas negara.
Nama Tan Malaka dalam sejarah nasional Indonesia sempat dihilangkan perannya, karena dianggap pengikut komunisme dan leninisme, padahal relasinya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak lama, meski pernah menduduki jabatan ketua umum PKI, Tan Malaka memutuskan bersimpang jalan dengan mendirikan partai politik baru, yaitu Partai Republik Indonesia (PARI) dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), kedua partai politik memiliki ideologi nasionalisme radikal. Tulisan ini ingin mengulas pemikiran pendidikan Tan Malaka, salah satu Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan RI No. 53 yang ditanda tangani Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963.
Tan Malaka selain dikenal sebagai pemikir politik serta seorang ideolog pergerakan di masa kemerdekaan, sosoknya ternyata dikenal juga sebagai tokoh pendidikan, Tan Malaka mengenyam pendidikan di Belanda pada sekolah pendidikan guru (Rijkskweekschool), semasa hidupnya ia merupakan seorang pendidik yang mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain, bahkan ia merintis sekolah alternatif bernama SI School yang memiliki afiliansi dengan Sarekat Islam (SI), sekolah yang mengajarkan nasionalisme serta patriotisme kepada anak didiknya untuk melawan Belanda.
Tan Malaka sendiri mengkritisi model atau gaya pendidikan yang dikembangkan pemerintahan kolonial Belanda dimana kaum pribumi (Bumiputera) diarahkan menjadi penindas bangsa sendiri menurutnya “Anak-anak pribumi dididik untuk menjadi kerbau selalu mematuhi segala perintah Belanda”.
Sebagai antitesis model pendidikan dikembangkan Belanda, Tan Malaka mengkonsepkan pendidikan bersifat andragogi, pendidikan tidak berpusat kepada guru, tetapi kepada para peserta didik (siswa). Tujuannya menjadikan siswa lebih kritis dalam memahami berbagai persoalan disekitarnya, termasuk rantai belenggu penindasan bangsa Belanda atas kaum pribumi. Sekolah didirikan Tan Malaka tidak membebani siswa dengan pembiayaan serta aturan formalistik seperti jadwal kelas sangat ketat, bahkan peserta didiknya tidak diwajibkan menggunakan seragam sekolah formal. Karena bagi Tan Malaka sekolah itu manifestasi dari“Kebebasan jiwa anak didik agar menjadi manusia kreatif, berdiri sendiri, dan membela rakyat miskin dari kapitalisme” (Syaifudin, 2012).
Sekolah Tan Malaka memiliki tujuan untuk mencetak kaum pribumi yang memiliki kesadaran revolusioner melawan penjajah, tidak takut dan takluk kepada imperialisme barat, artinya visi pendidikan SI School berbeda dengan kebijakan politik etis Belanda mendirikan fasilitas pendidikan, agar Bumiputera menjadi tenaga administrasi pemerintahan kolonial dikemudian hari (Munir, 2019). Pada awalnya sekolah didirikan Tan Malaka bertempat di sebuah gubuk kecil milik seorang buruh miskin di Semarang, peserta didiknya dilatih kemampuan berbicara di ruang publik, keahlian menulis (jurnalistik), dan menggorganisir perlawanan massa rakyat. Sekolah Tan Malaka mendapat izin dari pemerintah kolonial pada tanggal 21 Juni 1921, menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar (M. Fa’al, 2005). Sekolah SI School mendapat sambutan hangat dari masyarakat, dalam satu minggu saja mendapatkan siswa sebanyak delapan puluh orang, banyaknya peminat ini bukan karena biayanya murah, tetapi visi, misi, dan karakter dimiliki sekolah mengedepankan indentitas kebangsaan dan adat ketimuran (Paharizal dan Yuwono, 2014).
Di SI School para siswa selain diajarkan bahasa Belanda juga dididik berhitung, membaca, menulis, ilmu bumi, sejarah, melayu, dan bahasa jawa. Dalam perkembangannya sekolah Tan Malaka tidak saja berkembang di Jawa (Semarang dan Bandung) tetapi ke luar jawa, dengan rincian lima puluh dua sekolah cabang, serta lima puluh ribu peserta didik (Munir, 2019). Keunikan sistem pembelajaran di sekolah Tan Malaka, membagi para siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil terdiri dari lima orang berkeliling ke kampung-kampung sambil menyanyikan lagu perlawanan kaum buruh se-dunia di mana dalam salah satu liriknya berbunyi “Negara menindas, Hukum Pembohong” (M. Fa’al, 2005).
Tan Malaka dalam brosus SI School menguraikan tujuan dari sekolahnya mengajarkan semangat kerakyatan, dengan menjadikan murid-muridnya militan sebagai propagandis gerakan rakyat dimanapun mereka berada, dapat dikatakan SI School menjadi pusat dari kaderisasi kaum pergerakan radikal di ketika itu, diharapakan pasca mengikuti pendidikan (lulus), secara ideologis mereka siap ditempatkan dikantung-kantung pergerakan politik di manapun (Prabowo, 2002).
Lebih lanjut Tan Malaka menguraikan konsep pendidikan sekolahnya sebagai berikut. Pertama, pentingnya mengajarkan ilmu pengetahuan (menulis, berhitung, dan bahasa) kepada massa rakyat sebagai bekal melakukan perlawanan terhadap kaum pemilik modal. Tan Malaka menyakini kapitalisme dan imperialisme dapat dikalahkan, selain lewat gerakan massa, juga memerlukan kehadiran kaum intelegensia untuk berpikir menyusun taktik serta strategi perlawanan. Melalui penguasaan bahasa ide revolusioner bisa tersampaikan luas ke penjuru dunia, sedangkan kemampuan menulis mempercepat persemaian ideologi kepada masyarakat. Kedua, pentingnya berorganisasi bagi para siswa, selain mengembangkan diri, lewat organisasi mampu memupuk solidaritas sesama anggota komunitas kaum pergerakan. Ketiga, menekankan pendidikan berorientasi ke bawah, pelayanan pendidikan idealnya senantiasa menempatkan kaum miskin sebagai perioritas dalam mendapatkan hak setara dalam mengakses ilmu pengetahuan (Susilo, 2008).
Praksis pendidikan Tan Malaka memiliki arah tujuan jelas, pendidikan menjadi instrumen dari transformasi sosial umat manusia berdasarkan kesadaran kritis dimiliki. Nasib bangsa terjajah harus berubah menjadi bangsa merdeka. Tentunya kemerdekaan diraih itu hasil dari pergulatan pikiran dan perjuangan fisik tiada henti untuk menyingkirkan bangsa penjajah. Sedangkan peran guru sendiri sebatas fasilitator dalam proses pendidikan, dengan memberikan kebebasan atas kreatifitas anak didiknya, ia tidak melakukan “pembonsaian” akal kreatif serta membatasi inovasi peserta didik. Tugas guru menurut Tan Malaka mengantarkan para siswa untuk menemukan potensi serta membangkitkan kesadaran kritis dalam memahami nasib bangsanya yang menderita akibat kolonialisme Belanda selama berabad-abad.
Dengan demikian konsep pendidikan Tan Malaka menempatkan murid adalah agen utama dalam melakukan perubahan dari ketertindasan menuju pembebasan, para peserta didik merupakan subjek aktif yang diajak terus berpikir dan bertindak dilandasi spirit kemanusiaan.
Jadi konsep pendidikan Tan Malaka intinya menjadikan realitas sosial terjadi disekitar anak didiknya sebagai salah satu media pembelajaran di sekolah, ketika itu Atmosfer peserta didik di SI School di bawah penjajahan Belanda, maka pendidikan di sekolah Tan Malaka dihadapkan pada realitas sebenarnya, sehingga semua potensi guru dan peserta didik di arahkan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Materi diajarkan di dalam kelas melingkupi permasalahan-permasalahan kontekstual di zamanya, sehingga seluruh peserta didik dihadapkan kepada tanggap masalah, semua permasalahan di diskusikan secara bersama-sama di dalam kelas, melalui proses bersifat dialogis antara guru dan murid. Semua permasalahan terjadi bermuara pada adanya penjajahan bangsa barat pada bangsa timur, solusinya kemerdekaan bangsa-bangsa timur harus diperjuangkan melalui revolusi kemerdekaan, tidak terdapat cara atau metode aksi lain.
Di kemudian hari sekolah-sekolah didirikan Tan Malaka di nilai pemerintah kolonial Belanda berbahaya yang berpotensi menyulut aksi massa mengancam hegemoni kekuasaannya, akhirnya Belanda menangkap Tan Malaka dijatuhi hukuman diasingkan ke luar negeri.
Pemikiran Tan Malaka dalam ranah pendidikan ini menjadi oase ketika dunia pendidikan mengalami kekeringan ide-ide progresifitas, pemikiran Tan Malaka bisa menjadi rujukan kedepan, tentang bagaimana mewujudkan dunia pendidikan berpihak kepada masyarakat bawah, serta menjadi inspirasi untuk terus melakukan pemihakan pada kebenaran.
Penulis:
Gili Argenti, Mahasiswa S3 Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (UNPAD). Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).