Saat itu tahun 1940, Achmad Aidit merantau ke tanah Jawa, begitu orang Sumatra menyebut orang-orang yang akan merantau ke Pulau Jawa. Melanjutkan pendidikan, menjadi tujuan utama Amat begitu ia dipanggil oleh teman-teman semasa kecil di Belitung. Pendidikan lanjutan yang ia pilih, Sekolah Dagang. Tentu arahnya jelas, sekolah para komprador kapitalis, setidaknya menjadi saudagar. Namun sejarah menghendaki lain, Amat berdiri posisi bersebelahan dengan kapitalisme.
Semasa di Batavia ia tinggal di Senen, bergaul dengan para aktivis seperti Adam Malik, Chaerul Saleh dan lainnya. Amat juga sempat tinggal di rumah tokoh Islam, Isa Ansori. Anggota konstituante sekaligus juru bicara Partai Masyumi. Rumah Isa Ansori menjadi tempat menumpang Amat ketika menjejakkan kaki pertama kali di tanah Jawa. Ibundanya yang menitipkan Amat ke Isa Ansori. Ibunda Amat dan Isa Ansori satu kampung yang sama dari Maninjau Sumatra Barat.
Petualangan politik Amat selepas dari Belitung pun dimulai. Terlahir dan dibesarkan dari keluarga muslim yang taat tidak membuatnya sejurus dengan ayahandanya bergerak dengan pedoman nilai-nilai Islam. Amat justru memilih jalan yang berbeda. Ia jatuh cita dengan ide-ide perjuangan Marxis.
Amat makin jatuh cinta dengan ide-ide Marxis setelah intens berinteraksi dengan kader-kader Partai Komunis Indoensia. Ikut dalam pendidikan kader hingga menjadi kader PKI. Proses itu berjalan dengan natural. Tak ada yang mengendorse Amat hingga terpelih menjadi Sekjen PKI. Usai peristiwa PKI Madiun 1948, karir politik Amat makin moncer apalagi kemudian ditetapkan sebagai Ketua Umum PKI.
Amat bukan anak tokoh penting PKI. Bukan pula pengusaha yang bisa beli kursi ketua partai untuk anaknya. Sebagai penegasan saja, Amat juga bukan anak presiden sehingga dikasih jalan mulus menjadi ketua umum partai walau tak pernah ikut kaderisasi.
Justru Amat terlahir dari ayah yang kental dengan nilai-nilai perjuangan Islam. Yang secara ideologi berbeda jauh dengan ajaran komunis. Ayahanda Amat, Abdullah Aidit merupakan tokoh pergerakan Islam di Belitung. Abdullah Aidit sangat dekat dengan ide-ide pembaharuan Muhammadiyah.
Berjalan dengan garis perjuangan sendiri, Amat berhasil menduduki posisi tertinggi di PKI saat usia muda, 28 tahun. Dengan pencariannya sendiri, Amat memilih jalan yang berbeda dengan Ayahnya Abdullah Aidit.
Terbukti, Amat bukan sembarang anak muda, Pada Pemilu 1955 ia sukses membawa PKI menempati urutan 4 besar. Selisih 7 ribuan suara saja dengan pemenang nomor 3, Partai Nahdatul Ulama.
Raihan suara PKI ini termasuk mengejutkan karena setelah peristiwa Madiun 1945, PKI mengalami keterpurukan. Ketua PKI Muso dihukum mati karena divonis melakukan kudeta. Amat memimpin konsolidasi kebangkitan PKI. Dengan sangat cepat dibawah reruntuhan puing-puing kehancuran PKI karena peristiwa Madiun.
Setelah Pemilu 1955, PKI makin kuat. Apalagi setelah perseteruan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indoensia versus Presiden Soekarno. PKI makin mendapat tempat di kekuasaan Presiden Soekarno. Sebagai Presiden yang ingin mengamankan kekusaannya, kehadiran PKI sangat membantu melawan serangan bertubi-tubi Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.
Wajar bila Amat, satu-satunya sosok yang dikenal sepanjang sejarah dengan jabatan melekat sebagai ketua partai. Kudeta PKI pada 1956 tak bisa lepas dari sosok jenius Achmad Aidit.
Seusia dengan Aidit ketika terpilih menjadi ketua partai, Kaesang Pangarep, 28 tahun, didaulat Partai Solidaritas Indonesia sebagai ketua umum. Sejarah politik Indonesia akan mencatat satu lagi ketua partai terpilih dibawah usia 30 tahun.
Tak perlu jalan terjal bagi Kaesang Pangarep untuk mendapatkan kursi nomor satu di partai berwarna merah itu. Tak melalui proses kaderisasi. Gak perlu berlelah ria melakukan loby politik. Haru biru dalam konflik kepentingan di internal partai.
Kaesang Pangarep bagaikan putra mahkota pada sistem monarki. Singgasana telah menanti sang raja. Bukan bersusah payah meniti jalan dari bawah hingga menjadi elit partai.
Kaesang sedang memberi tahu kita, politik itu jangan dibawa tegang. Yang ngotot sampai batang leher mengeras biasanya gak dapat apa-apa. Apalagi kita yang cuma penonton. Slow aja, nikmati aja sambil ngopi.
Penulis: Bung Adi Siregar
(Penggiat Literasi Bekasi)