Setiap ngopi dengan teman-teman pelaku UMKM, ada satu pertanyaan yang seolah wajib kuutarakan di masa pandemi ini. “Bagaimana kondisi bisnisnya?” “Permintaan, apakah sudah ada perbaikan?”
Pelaku UMKM yang sudah memiliki jam terbang, rona optimis yang selalu kudapat. Beda dengan yang masih coba-coba untuk berusaha. Yang kudapati keluh kesah. Seolah tak ada lagi harapan. Semua sudah porak poranda akibat pandemi. Tak ada yang tersisa sekadar alasan bangkit.
Beberapa waktu yang lalu, aku berkesempatan ngopi dengan seorang teman pelaku UMKM. Kang Asep, begitu ia biasa kupanggil. Ia bergelut di sektor UMKM sudah lama bukan kemaren sore. Sudah berbilang belasan tahun. Sempat bekerja di sebuah bank sebagai tenaga IT. Sekitar setahun kemudian, ia pindah ke perusahaan pager.
Jenuh sebagai orang kantoran, ingin memiliki usaha sendiri. Hingga pada titik super yakin. Bulat hati memutuskan berhenti sebagai orang gajian di perusahaan alat telekomunikasi. Keyakinannya bulat seperti bola, tak mau lagi tergantung dengan orang lain.
Tak selamanya mulus, Jatuh bangun saat memulai usaha hal yang lumrah. Anggap saja sebagai sekolah sebagai calon wirausahawan. Tak mau mundur meski sehasta. Selalu melihat ke depan. Di ujung Lorong ini ada harapan. Itu yang ia kejar. Dia sangat yakin ditengah gelapnya lorong, di ujung pasti ada cahaya. Ini yang menjadi pegangannya hingga bisa bertahan sampai hari ini.
Pandemi ini, masa paling sulit bagi Kang Asep dan pelaku usaha secara umum. Sebelum pandemi, sebulan perputaran cashflow usaha Kang Asep bisa 150 juta per bulan. Selama pandemi ini, dapat tujuh juta saja sulit didapat.
Pusing juga kata Kang Asep. Gimana tak pusing, harus membiayai karyawan. Sementara pemasukan tak ada. Sempat tak operasi beberapa bulan. Asah otak bagaimana caranya agar gaji karyawan tetap terbayar.
Untuk bisa bertahan pengusaha pembuat packaging box dan percetakan ini mencari peluang usaha lain. Bisnis yang tak kena impak bangat akibat pandemi. Usaha kuliner, cobalah ia merambah bisnis ini. Lumayan untuk menambal pemasukan minim selama pandemi yang belum terang kapan akan berakhir.
Selama obrolan dengan Kang Asep tak satu pun diksi yang keluar jika ia sudah mengibarkan bendera putih. Pria asal Tegal ini tak mau kalah dengan keadaan. Itu yang kutangkap dari pembicaraan sekitar dua jam itu.
“Kalau sekadar untuk makan sendiri aku bisa aja sih Bung Adi. Cuma, aku mikirin karyawan dan keluarganya. Mereka banyak bergantung dengan perusahaan kardus dan percetakan ini,” katanya. Oya, laman usaha Kang Asep ini www.rubybox.id, bukan promosi, Cuma ngasih tahu.
Keluh sih ada, lumrah. Itu manusiawi. Masih kadar sebagai manusia biasa yang tak lepas dari keluh dan kesah. Lumrah curcol pada orang lain disaat kondisi seperti ini. Keluh kesah itu sebagai luapan emosi saja. Agar tersalurkan. Tak tersumbat dipikiran. Bukan kah manusia itu perlu tempat tuk bercurah keluh kesah? Dan sebatas itu.
Dan dari keluh kesah itu ada semacam mantra yang perlu aku sebarkan kepada pelaku usaha lainnya yang sedang berjuang ditengah pandemi ini. Apa pun keadaan saat ini, nasehat kata Kang Asep, Bertahan. Pandemi ini pasti ada ujungnya. Bagaimana pun caranya berusahalah untuk bertahan. Jangan pernah sekali-kali berpikiran untuk menjual aset. Memikirkan saja tak boleh apalagi melakukannya.
“Banyak teman-teman saya yang sudah jual aset. Ada yang baru buka usaha, sekarang udah obral aset. Padahal memulai usaha itu dari uang pesangonnya saat di PHK,” kata Kang Asep.
Kalau sampai jual aset kerja akan sangat sulit untuk memulai lagi.
Bagi Kang Asep jurus bertahan adalah kunci sukses saat pandemi. Memulai setelah pandemi selesai akan membutuhkan perjuangan yang jauh lebih berat. Memulai usaha setelah ‘kalah’ jauh lebih sulit lagi.
“Yang penting bertahan aja, gak jual aset. Nanti memulai usaha lagi akan sulit. Sekarang tutup sana sini biar gak jual aset,” kata Kang Asep, penuh optimis.
Sesudah pandemi berakhir, Langsung Gaspol.