Lewat konflik berkepanjangan Kerajaan Pajang akhirnya sukses megalahkan Jipang. Raja Pajang Sultan Hadiwijaya makin menegaskan kekuasaannya di Tanah Jawa. Sebagai bentuk balas jasa karena telah mengalahkan Kerajaan Jipang, Raja Pajang Sultan Hadiwijaya menghadiahi tokoh paling berjasa, Ki Ageng Pemanahan tanah di hutan Metoak.
Melalui anak Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati berhasil mendirikan Kerajaan Mataram Islam di hutan Metoak, sekarang lebih dikenal Kota Gede. Disinilah ayah anak itu merintis berdirinya kerajaan Mataram yang bercorak Islam.
Kota Gede tidak bertahan lama sebagai pusat kerajaan Islam Mataram. Pusat ibu kota kerajaan Mataram Islam itu harus berpindah-pindah beberapa kali. Alasan utamanya karena pertimbangan politik dan keamanan. Kerajaan Mataram Islam tercatat mengalami perpindahan ibu kota sebanyak 4 kali.
Dalam sejarah politik kerajaan di Nusantara, pemindahan ibu kota pemerintahan biasa terjadi. Mataram kuno juga pernah memindahkan pusat pemerintahannya. Demikian halnya dengan Majapahit yang pernah memindahkan Ibu Kota Kerjaan. Yang awalnya di Tarik, Sidoarjo berpindah ke Trowulan, Mojokerto.
Pemindahan pusat kerjaan tersebut terjadi karena pertimbangan aspek keamanan, politik dan bencana alam. Perpindahan Ibu Kota Mataram Kuno dari Kedu ke Porwodadi disebabkan oleh bencana alam, meletusnya gunung Merapi.
Pemindahan ibu kota negara atau kerajaan bukan hal baru. Biasa aja sih. Dalam sejarah tumbuh kembang sebuah negara, ibu kota bisa berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Apalagi didasarkan kajian yang matang untuk memindahkan sebuah ibu kota sah-sah saja dilakukan.
Terkait pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta ke tempat yang pandang layak, sesuatu yang bisa diterima dalam sudut pandang kebijakan publik. Alasan paling populer karena beban berat Jakarta sebagai ibu kota negara sekaligus pusat ekonomi.
Bila alasannya untuk pemerataan ekonomi amat sangat tidak tepat. Wilayah ibu kota negara bukan untuk menopang ekonomi sebuah kawasan. Bila alasan pemerataan ekonomi maka pemindahan ibu kota akan menjadi isu abadi. Ibu kota negara dengan pemerataan ekonomi dua bab kajian yang berbeda. Pemerataan ekonomi lebih pada kebijakan pembangunan bukan lokasi sebuah ibu kota negara. Sementara ibu kota lebih pada simbol supermasi kekuasaan dan pemerintahan sebuah negara.
Bila pemindahan ibu kota negara ini bertujuan untuk pemerataan ekonomi, tinggal menuggu saja. Kebijakan ini bisa dipastikan gagal. Padahal untuk pemerataan ekonomi cukup dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang adil. Terutama adil dalam distribusi sumber daya ekonomi.
Acapkali saya dibuat bingung dengan pernyataan beberapa menteri terkait pemindahan ibu kota negara. Fokus pembicaraan para menteri itu soal investor dalam membangun ibu kota negara. Hah, investor? Ibu kota negara ini untuk kedudukan pusat pemeritahan atau untuk pusat bisnis? Kenapa pada sibuk cari investor? Kalo mau bangun ibu kota negara ya dari pajak rakyat, kekayaan negara atau hutang bila tak punya duit. Sampai disini saya gagal paham.
Bila topik utama para menteri mencari investor untuk membangun ibu kota negara berarti motif ekonomi lebih utama dalam membangun kawasan ini. Sudah habitat dasarnya bila investor berharap mendapat untung besar di setiap investasi. Sekadar menegaskan saja, saya yakin betul, kita sudah paham sekali jika investasi bukan sedekah yang tidak berharap imbalan apa pun. Motif mereka hanya untuk dapat balasan dari Tuhan Yang Maha Agung. Motif utama investasi untuk mendapat balasan lebih dari modal yang dikeluarkan. Jelas, ada pamrih.
Bila pendekatannya investasi, wajar bila independensi dalam membangun ibu kota negara akan tergerus oleh para pemilik modal. Campur tangan investor akan sangat besar dalam membangun ibu kota negara. Sebagai investor tentu memiliki banyak pertimbangan dan mau dalam mengeluarkan modal investasi. Mau pemerintah dan keinginan investor akan bertemu pada titik kompromi. Lah, kok pembangunan ibu kota negara atas dasar titik temu investor dengan kebijakan negara. Ruwet, ruwet sekali ketua.
Bila acuan utama pembangunan ibu kota negara adalah investasi maka kita sedang merencanakan pembangunan Jakarta Jilid II. Pusat pemerintah dan disaat bersamaan berfungsi sebagai pusat bisnis. Kalo itu yang terjadi cukup bilang ya….ya…yain aja. Biar para menteri yang sedang sibuk mencari investor untuk membangun ibu kota negara lebih semangat lagi. (Catatan Bung Adi Siregar)