Wajah pria tua itu tampak gelisah. Raut gundah jelas terpancar dari ekspresinya, seolah ia tengah menghadapi sebuah kekhawatiran yang sangat mendalam. Di hadapannya, sebuah secangkir kopi Mandailing terhidang, namun rasa khawatir yang bercampur dengan kemarahan tetap menghiasi wajahnya.
Aku merasa ragu untuk mendekatinya. Bahkan sekadar menyapa pun terasa sulit karena khawatir ia tidak akan menerima sapaan dariku. Namun, dorongan rasa penasaran yang besar membuatku memberanikan diri untuk mendekati pria tua yang duduk di sudut warung kopi dengan nuansa vintage.
Setelah memberinya salam, pria itu tersenyum dan membalas sapaan dengan ramah. Rasa ragu yang semula mengganjal mulai pudar setelah ia menyapaku dengan kehangatan. Bahkan, ia mempersilahkanku duduk di meja yang sama dengannya, membuatku merasa lebih nyaman untuk memulai sebuah percakapan.
Dengan pembicaraan basa-basi sebagai pembuka, aku akhirnya bertanya apa yang membuat wajahnya tampak begitu khawatir. Ia terdiam sejenak, dan aku mulai merasa cemas telah menanyakan hal yang mungkin terlalu pribadi pada orang yang baru kukenal. Namun, pria tua itu tersenyum lagi, menarik napas dalam-dalam, lalu melepasnya perlahan.
“Sudah beberapa hari ini, pikiranku dirusak oleh pemberitaan tentang penerimaan siswa baru,” katanya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Tampak jelas dari wajahnya bahwa ia serius memikirkan hal ini, seperti induk ayam yang kehilangan anak-anaknya, penuh dengan rasa cemas yang mendalam.
Ia melanjutkan ceritanya dengan nada yang penuh keprihatinan. Menurutnya, penerimaan siswa baru (PPDB) telah merusak cita-cita mulia pendidikan. Belum juga memasuki lembaga pendidikan, anak-anak sudah dirusak. Aku semakin bingung dengan penjelasannya dan berpikir, “Sabar, sabar. Kunyah saja dulu, biarkan ia menjelaskan lebih lanjut,” pikirankan bergejolak.
“Bagaimana saya tidak khawatir? Pendidikan sudah dihancurkan sejak proses penerimaan siswa baru dimulai. Dan aktor utamanya adalah guru dan pejabat publik,” katanya dengan nada penuh kemarahan.
Ia menekankan bahwa seharusnya guru menjadi teladan baik di dalam maupun di luar kelas. Guru adalah panutan dan aset terbesar bangsa ini. Jika mereka terlibat dalam praktik curang saat penerimaan siswa, berarti mereka sedang merusak masa depan bangsa ini.
Menurutnya, bangsa besar dibangun dengan fondasi moral yang kuat, di mana guru memainkan peran penting sebagai penjaga dan pembangun moral. Jika mereka yang seharusnya membangun malah merusak, kepada siapa lagi kita bisa berharap?
Ia melanjutkan keluh kesahnya, “Aku merasa malu mendengar bahwa beberapa guru telah berperan sebagai calo untuk memastikan anak-anak bisa diterima di sekolah negeri. Lebih mengecewakan lagi, ada yang sengaja mengubah nilai raport anak agar sesuai dengan harapan orang tua.”
Hatiku terasa hancur ketika mengetahui bahwa ada guru-guru yang memasang tarif untuk orang tua murid demi memasukkan anak mereka ke sekolah negeri. Memang, ada juga peran pejabat dan masyarakat yang mementingkan ego pribadi, tanpa peduli apakah itu masuk ranah suap atau tidak.
Situasi ini menjadi tontonan yang disaksikan oleh anak-anak kita, melihat semuanya dengan mata telanjang. Mereka sedang diajari bahwa melakukan kecurangan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan. Jika pada akhirnya kita melahirkan generasi yang korup, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Generasi korup adalah produk dari masyarakatnya sendiri.
“Sekolah sudah menjadi pasar. Sekolah telah gagal menjadi tempat untuk menyemai moralitas generasi muda,” katanya dengan penuh penekanan.
Tetiba mata lamunanku terhenti, ketika pramusaji memanggil namaku untuk mengambil kopi pesanan. Ternyata, dialog imaginer dengan Ki Hadjar Dewantara itu hanya ada dalam pikiranku.
Bekasi, 18 Juli 2024
Bung Adi Siregar (Founder Bekasi Books Club)