INFOBEKASI.CO – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan audit terhadap Rumah Sakit Kartika Husada Jatiasih terkait kasus pasien meninggal usai operasi amandel. Dimana sebelumnya pasien mengalami mati batang otak sesudah menjalani operasi amandel di rumah sakit tersebut.
Berdasarkan temuan tim audit Kemenkes tidak menemukan adanya malpraktik dalam kasus tersebut. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Azhar Jaya mengatakan RS dipastikan telah melakukan tindakan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), telah melakukan langkah-langkah penyelamatan. Meskipun demikian, ada yang perlu diperbaiki.
Ia menambahkan terlaksananya SOP atau tidak jadi penilaian ihwal dugaan malapraktik, bukan keberhasilan prosedur di RS. Salah satu yang bisa dimaksimalkan adalah waktu penanganan pasien.
“Mungkin pada saat mereka melakukan itu, perawatnya dalam tanda kutip butuh pelatihan lebih dan sebagainya,” kata Azhar Jaya.
Pada temuan lain, Kemenkes menyayangkan salah satu tenaga dokter rumah sakit tersebut tidak memiliki surat izin praktik. Catatan lainnya adalah kecepatan penindakan, serta perlunya pelatihan lebih banyak kepada sejumlah tenaga kesehatan di Rumah Sakit Kartika Husada.
“Kalau malpraktik saya bisa bilang yang kita temukan adalah bahwa fasyankes sama RS-nya itu dokternya tidak punya izin praktek ya, itu yang sebenarnya kita sesalkan, tapi yang lain itu perlu kita lakukan pembinaan,” ungkap Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Azhar Jaya.
Keluarga pasien, Frans Sinaga menyampaikan terkejut dengan salah satu hasil audit, dimana tidak ada surat izin praktik salah satu tenaga dokter. Hal ini seolah mempertegas adanya tindak pidana sebagaimana yang telah dilaporkan oleh keluarga pasien, tenaga dokter maupun rumah sakit dinilai kayak diberikan sanksi tegas jika benar-benar terbukti.
“Apakah rumah sakitnya tertipu dengan dokternya, atau dia (RS) membiarkan dokter itu tidak berizin tapi tetap praktik,” kata Frans Sinaga.
Terkait dengan SOP, ia menilai perlu dilakukan melihat proses yang terjadi sejak pasien tiba di RS sekira pukul 05:00 WIB pagi sampai dengan perawatan di ruang ICU. Beberapa hal yang menjadi catatan keluarga pasien diantaranya, pasien harus tiba di RS pada pukul 05:00 WIB, setelah itu menunggu masuk ke ruang rawat hingga sekira pukul 10:00 WIB.
Lebih lanjut, proses pemindahan pasien dari ruang rawat menuju ruang operasi tanpa sepengetahuan orang tua yang saat itu diketahui tengah berada di kamar mandi, siapapun boleh masuk ke ruang ICU pada saat pasien dirawat. Ia juga menyaksikan wadah infus dalam keadaan kosong, saat ditanyakan kepada perawat didapati jawaban belum dipesan.
“Kalau mereka berdalihnya SOP yang dari ruang operasi, ya berarti dari awal sebelum operasi juga harus ikut prosedur SOPnya. SOP mana yang kita mau jabarkan, dan kita menganggap itu benar SOP,” kata Frans Sinaga.
Lebih lanjut terkait dengan kecepatan penanganan dan perlunya pelatihan lebih banyak pada sejumlah tenaga kesehatan sejalan dengan apa yang dirasakan oleh keluarga selama pasien berada di rumah sakit.
Pada saat pasien dalam keadaan kritis, terlihat kepanikan pada tenaga kesehatan di rumah sakit. Ia menilai ada ketidaksiapan dari sisi pengetahuan hingga peralatan yang minim.
Harapan keluarga saat ini, semua pihak bisa berbenah. Keluarga tidak ingin ada kasus serupa terulang.
Proses hukum juga dipastikan terus berlanjut, orang tua telah memberikan keterangan kepada pihak kepolisian belum lama ini.
“Sudah (memberikan keterangan), jadi mereka diperiksa dua kali, hari Rabu dan hari Jumat,” katanya.
Ditempat terpisah, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi masih menunggu hasil audit dari Kemenkes. Namun, Dinkes sejauh ini telah berupaya agar kejadian serupa tidak berulang.
“Seperti tadi lah (kemarin), saya visitasi ke rumah sakit. Jadi sekarang itu ke rumah sakit terutama yang tidak terlewatkan itu kecepatan penanganan itu kan memang terkait dengan proses rujukan itu susah,” kata Kabid Pelayanan Kesehatan (Yankes) Fikri Firdaus.
Kecepatan penanganan pasien ini kata dia, erat kaitannya dengan sulitnya mendapatkan rumah sakit rujukan, terlebih rumah sakit tipe A. Menjelang akhir pekan kemarin, ia menyebut bahwa seluruh rumah sakit di Kota Bekasi telah berkomitmen mengenai proses rujukan.
Kalaupun tidak mendapatkan rumah sakit rujukan, atau pasien dalam kondisi nontransportable, alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan mendatangkan dokter spesialis ke RS tempat pasien di rawat. Hal ini dal waktu dekat akan diatur dalam Perda yang tengah disusun oleh Pemkot Bekasi bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Mengenai pelatihan kepada tenaga kesehatan, pada masa Pandemi Covid-19 tidak ada pelatihan bagi tenaga kesehatan seperti perawat. Sehingga, Dinkes memberi keleluasaan kepada rumah sakit untuk menggelar pelatihan internal. Sertifikasi tenaga kesehatan selama masa Pandemi Covid-19 akan terlihat pada saat kredensial tenaga kesehatan.
Belum lagi, selama kurun waktu 2020 hingga 2022 banyak tenaga kesehatan yang gugur, tenaga kesehatan di rumah sakit pun silih berganti.
“Jadi tenaga kesehatannya itu sudah siap, bukan hanya tenaga kesehatannya saja yang di kredensial, perawatnya juga di kredensial. Yang kita hilang pada saat Covid itu adalah proses kredensialnya sendiri untuk tenaga perawat, untuk dokternya masih,” katanya.
Terkait dengan tidak adanya SIP salah satu tenaga dokter di RS Kartika Husada Jatiasih, ia menyebut perlu dilakukan klarifikasi lebih lanjut. Pada poin ini, ia tidak banyak berkomentar, lebih baik menyerahkan pada proses yang saat ini sedang berjalan.
Selagi proses audit berjalan, Dinkes menunggu rekomendasi dari Kemenkes terkait dengan sanksi kepada rumah sakit maupun tenaga dokter.
“Kemenkes memberikan rekomendasinya ke Dinkes, Dinkes Provinsi, nanti kita yang mengeksekusi,” tambahnya.
Setelah peristiwa yang terjadi di RS Kartika Husada Jatiasih beberapa waktu lalu disebut memberikan pelajaran bagi dunia kesehatan di Kota Bekasi. Setiap aspek layanan kesehatan RS harus dilakukan pengawasan dengan baik, mulai IGD sampai ruang ICU, dari tenaga kesehatan sampai peralatan medisnya.
Seluruh direktur telah dikumpulkan, membuat komitmen agar peristiwa serupa tidak lagi terjadi di Kota Bekasi. Saat Raperda tentang standar minimal kesehatan disahkan menjadi Perda, pihaknya akan segera membuat nota kesepahaman bersama dengan organisasi profesi, asosiasi rumah sakit, dan seluruh RS.
Awak Media telah berusaha untuk meminta jawaban dari RS Kartika Husada terkait dengan hal ini. Namun, pihak RS belum bersedia memberikan jawaban lantaran belum menerima hasil audit. (Alvin)